Pendidikan di Indonesia entah disadari atau tidak, memilki masalah dengan keterbatasan jumlah guru yang terampil di berbagai pelosok negeri.
Umumnya, para guru yang terampil dan berkualitas tersebar di kawasan kota atau daerah yang notabenenya mudah di akses. Sedangkan daerah-daerah terpinggir dan terpencil, sulit sekali mendapatkan guru.
Memang ada banyak faktor hal ini terjadi. Dari banyak alasan, salah satunya masalah minat dari guru itu sendiri. lebih banyak guru yang memilih lokasi yang mudah diakses dari segi transformasi dan akses untuk mendapatkan kebutuhan pokok yang lebih mudah .
Sedangkan daerah terpencil, lagi-lagi tidak dilirik sama sekali. Mungkin ada saja guru yang terpanggil hati untuk bertugas di daerah pelosok yang minim akses, sayangnya hanya 1:10 saja. Jumlahnya pun sangat kecil sekali. Sehingga wajar saja jika terjadi kesenjagan tenaga guru terampil di pelosok dan di kota. Sehingga terdapat pula kesenjangan kualitas lulusan peserta didik.
Tidak heran jika regenerasi yang hebat tinggal di pelosok, nyaris tidak dapat terekspose ke permukaan.
Itu sebabnya, ini menjadi PR bagi pemerintah dalam upaya pemerataan tenaga pendidik terampil di pelosok, agar terjadi pemerataan.
Sarana Dan Prasarana Tidak Memadai
Masalah pendidikan di Indonesia saya yakin sering juga dikeluhkan. Baik dikeluhkan oleh wali murit, guru dan muridnya itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri dari segi sarana dan prasarana memang kurang memadai. Terutama sekolah-sekolah yang ada di pedesaan, pinggiran dan sekolah yang ada di pelosok.
Ini masalah yang klasik dan sudah tidak asing lagi memang. Namun, seburuk-buruknya sarana dan prasaran yang ada di pinggiran kota dan desa, masih ada masalah pendidikan di Indonesia yang lebih parah. Kita tahu bahwa Indonesia Negara kepaulauan yang memiliki banyak sekali pulau.
Banyak daerah bagian yang tidak terakses seperti halnya di tempat kita tinggal saat ini.
Banyak generasi penerus yang tinggal di kepualauan, mereka tidak hanya terbatas pada sarana dan prasarana saja, tetapi terbatas dari banyak hal. Misalnya, harus melintasi pulau seberang setiap hari agar bisa masuk sekolah.
Hidup dengan keterbatasan koleksi buku karena tidak terakses dan tidak terjamah. Belum lagi masalah tidak ada jaringan listrik. Sehingga mereka harus menggunakan penerang tradisional. Padahal, sekarang sudah era digitalisasi tetapi masih ada daerah yang belum terjamah di tanah Air kita.
Sebenarnya dari masalah sarana dan prasarana tidak memadai ini saya ceritakan sebagai pembanding bagi pembaca. Sejelek-jeleknya prasarana yang sebagian putra-putri rasakan, selama masih ada akses listrik dan melek bahkan bisa mengangses internet dengan bebas, itu sudah lebih baik. Memang ada kekurangan dari pihak pemerintah dalam rangka melaksanakan peran pendidikan di pelosok – pelosok tetapi apakah kita selamannya akan menyalahkan dan menuding? Alangkah baiknya tetap berjalan dan belajar dengan giat meski mengalami keterbatasan.
Karena keterbatasan sebenarnya bukan menjadi sebuah alasan untuk kita maju dan berkembang.
.
Lagi-lagi saya kurang setuju dengan masalah keterbatasan menjadi alasan. Mungkin banyak yang menyebutkan bahwa keterbatasan bahan pembelajaran tidak memadai. Padahal, sebenarnya kita bisa mencari sendiri. Tidak harus mengandalkan huluran bahan aja dari pemerintah, tetapi inisiatif untuk mencari. Jika memang tidak ada bahan pembelajaran tidak tersedia, bagi seorang pendidik bisa saja belajar dari buku luar. Kemudian dari pesan buku tersebut di transformasikan ke peserta didik. Atau bisa membuat atau menciptakan bahan pembelajaran jika memang tidak ada.
Dengan cara-cara seperti ini lebih solutif dari pada menyalahkan ataupun menuding. Setidaknya dengan cara ini menjadi upaya memberikan jalan keluar untuk kebutuhan diri sendiri dan memberikan ruang jalan bagi orang lain. Bukan berarti saya pro dengan pemerintah. Hanya saja, sampai kapan kita menunggu pemerintah pendidikan. Menunggu belum tentu bertemu, tetapi dengan kita bergerak, meskipun hasilnya bukan gerakan besar, minimal memberi sedikit perubahan.
Mahalnya Dana Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri, masalah pendidikan di Indonesia yang paling mendasar terletak pada masalah biaya pendidikan. Meskipun sudah digadanggadang gratis, tetap saja ada bagian yang membayar. Ironisnya, banyak masyarakat miskin yang hanya membayar tidak seberapa bagi orang borju tetap menyulitkan.
Lagi-lagi di sini saya memiliki perspektif lain tentang masalah dana pendidikan. Masyarakat umum di tempat kita sudah terstereotipkan dan terdewakan dengan kata ‘lulusan dari mana?’ ‘lulus peringkat berapa?’ dan apapun itu yang menjadikan pendidikan itu adalah raja.Tidak dapat dipungkiri, memang lewat pintu pendidikan mampu mengantarkan seseorang ke masa depan yang lebih baik. Bahkan cukup bermodal peringkat terbaik dan dari sekolah terbaik bisa menentukan nasib seseorang. Secara lahir memang pendidikan adalah modal dasar dan segala. Tetapi di liihat dari ilmu hakikat atau urgensi atau sejatinya keberhasilan seseorang tidak selalu di tentukan dari tingkat pendidikan.
Sangat sulit untuk mengubah stigma sosial yang sudah turun temurun, Nyatannya, banyak orang-orang hebat yang justru putus sekolah. Orang-orang yang awalnya dianggap bodoh dan nyleneh tidak berkesempatan sekolah, nyatanya memiliki garis hidup yang berbeda. secara hakikat pula, nilai, lulusan terbaik juga tidak akan menjadi jaminan bisa masuk sekolah favoritmu. Malaikat pun tidak akan menanyakan “berapa perngkatmu?” malaikat juga tidak akan menanyakan “lulus di sekolah bergengsi atau tidak?”
Dari ulasan di atas seolah lembaga pendidikan menjadi tidak penting, hanya karena label dan stigma masyarakat. Padahal menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat manusia. Masalahnya lagi, banyak orang yang mengartikan menuntut ilmu selalu dalam bentuk pendidikan, padahal ada jalur non pendidikan. Kembali lagi fokus ke masalah pendidikan di Indonesia terkait mahalnya dana pendidikan inilah yang menambah angka putus sekolah. Pertanyaannya adalah, akankah kita akan selalu menyalahkan dan menuntut pemerintah untuk menjamin masa depan generasi putus sekolah? Padahal ada banyak sekali jumlah.
REFERENSI
Tilaar, HAR, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta. Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Penulis Mohamad Febrian Hasan, Mahasiswa Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo, Bimbingan Bapak Dr. Arifin Suking, S.Pd., M.Pd.