Toleransi berasal dari bahasa latin tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Secara umum istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan kelembutan. Unesco mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi dan karakter manusia. Toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berpikir dan beragama. Pendek kata toleransi setara dengan sikap positif, dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.
Toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup masalah-masalah keyakinan dalam diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau ketuhanan yang diyakininya.
Seseorang harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) yang dipilihnya masing-masing serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau diyakininya.
Toleransi beragama merupakan realisasi dari ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk komunitas. Ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk kelompok ini,menurut Joachim Wach, merupakan tanggapan manusia beragama terhadap realitas mutlak yang diwujudkan dalam bentuk jalinan sosial antar umat seagama ataupun berbeda agama, guna membuktikan bahwa bagi mereka realitas mutlak merupakan elan vital keberagamaan manusia dalam pergaulan sosial, dan ini terdapat dalam setiap agama, baik yang masih hidup bahkan yang sudah punah.
Menurut Fritjhof Schuon, agama secara eksoteris6terlahir di dunia ini berbeda-beda. Akan tetapi terlepas dari perbedaan yang muncul dalam agama-agama, secara esoterik agama-agama yang ada di dunia memiliki prinsip yang sama, yaitu bersumber dan tertuju pada Supreme Being. Cara Schuon membedakan kedua aspek agama ini bisa diterapkan sebagai panduan bagaimana manusia yang berbeda agama bertemu satu sama lain dalam memberikan peran mereka sebagai hamba TuhanYang Esa di dunia ini.
Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi sosial. Manusia beragama secara sosial tidak bisa menafikan bahwa mereka harus bergaul bukan hanya dengan kelompoknya sendiri, tetapi juga dengan kelompok berbeda agama. Umat beragama musti berupaya memunculkan toleransi untuk menjaga kestabilan sosial sehingga tidak terjadi benturan-benturan ideologi dan fisik di antara umat berbeda agama.
Ada dua tipe toleransi beragama: pertama, toleransi beragama pasif, yakni sikap menerima perbedaaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual.
Kedua, toleransi beragama aktif, yakni toleransi yang melibatkan diri dengan yang lain di tengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama.
Hakekat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman.
Praktek toleransi di sebuah negara sering mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemaknaan distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka” dan “kita”.
Toleransi beragama yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan melahirkan sikap inklusif umat bergama. Sikap ini menganggap agama sendiri benar tetapi masih memberikan ruang untuk menyatakan kebenaran agama lain yang diyakini benar oleh umatnya.
Sikap inklusif umat beragama akan mampu meruntuhkan sikap ekstrimis dan eksklusif umat beragama, yang biasanya melahirkan pemahaman fanatik buta dan radikalisme bahkan terorisme yang abadi terhadap umat berbeda agama.
Toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain, baik yang berbeda maupun yang sama.
Toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam bentuk tekanan atau pengaruh serta terhindar dari hipokrisis.
Toleransi mengandung maksud untuk memungkinkan terbentuknya sistem yang menjamin keamanan pribadi, harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat dalam masyarakat.
Hal ini dapat direalisasikan dengan menghormati agama, moralitas dan lembaga-lembaga mereka serta menghargai pendapat orang lain dan perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya tanpa harus berselisih dengan sesamanya hanya karena berbeda keyakinan atau agama.
Dalam kaitan dengan agama, toleransi mencakup masalah-masalah keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang berhubungan dengan ketuhanan yang diyakininya.
Seseorang harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) masing-masing yang dipilihnya serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau diyakininya.
Penulis Nabila Daud Mahasiswi Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Prendidikan, Universitas Negeri Gorontalo, Bimbingan Bapak Dr. Arifin Suking, S.Pd., M.Pd.