JARAK.ID, GORONTALO__ Warga Desa Marisa, Desa Tahele dan sekitarnya mengeluhkan terkait Air sungai keruh dan sudah sangat memprihatinkan, Diduga disebabkan adanya Aktivitas alat berat jenis Excavator di Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang ada di Kecamatan Popayato.
Para warga yang enggan mau disebutkan namanya, Kepada awak media, mereka mengatakan bahwa dari peninjauan di hulu sungai, kurang lebih 17 km dari simpang km 18 terdapat kurang lebih 8 Unit alat berat jenis excavator yang sedang melakukan kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merupakan penyebab utamanya.
Ia juga menuturkan bahwa, pemilik alat berat yang beroperasi tersebut dimiliki oleh 3 orang dan masing-masing mereka memiliki koordinatornya.
“Husni Hemuto selaku kordinator haji Abidin, Kemudian Liko dan Arman Hemuto selaku kordinator Haji Nur. Sedangkan Endi Godang selaku kordinator pak Sableng,” tuturnya, Minggu (29/12/2024).
Selain itu, ia juga sangat menyayangkan pemerintah setempat dan pihak yang berwenang tidak dapat mencegah dan menghentikan kegiatan PETI yang sudah sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat.
“Pelaku PETI itu telah merusak ekosistim serta keberlangsungan flora dan fauna yang berada di wilayah tersebut,” imbuhnya.
Sehubungan dengan masalah tersebut, Ia bersama warga lainnya akan berusaha melakukan langkah kongkrit sampai di Kementerian Kehutanan dan LHK bahkan sampai ke Bapak Presiden demi untuk menyelamatkan hutan dan aliran sungai yang sudah tidak bisa di manfaatkan oleh masyarakat akibat PETI yang di lakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
“Kami akan sampaikan masalah ini hingga Kementerian bahkan sampai kepada Presiden,” tandasnya.
Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum LHK, Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa UU Nomor 32/2024 menjadi penguatan dalam upaya penegakan hukum.
Menurutnya, sanksi pidana dalam UU 32/2024 ini dapat memberikan ancaman yang lebih berat kepada korporasi atau orang perorangan yang melakukan kejahatan lingkungan.
“Misalnya, apabila terdapat korporasi yang melakukan tindak pelanggaran seperti perusakan kawasan di KSA diancam hukuman penjara hingga maksimal 20 tahun dan denda maksimal 200 Milyar Rupiah,” Jelasnya saat menggelar Media Briefing untuk memberikan keterangan kepada rekan-rekan media, di Jakarta pada Rabu (19/09/2024).
Selain itu, dilansir dari PPIP KLHK, bahwa Pelaku dapat juga dikenakan pidana tambahan antara lain: (a) pembayaran ganti rugi; (b) biaya pemulihan ekosistem; (c) biaya rehabilitasi, translokasi, dan pelepasliaran (d) biaya pemeliharaan TSL; (e) perampasan TSL; (f) pengumuman putusan pengadilan; (g) pencabutan izin tertentu; (h) pelarangan permanen; (i) penutupan seluruh atau sebagian kegiatan usaha; (j) pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha; dan (k) pembubaran Korporasi.
“Nah sementara untuk Penyitaan kekayaan atau pendapatan Korporasi bila tidak dilaksanakan dalam 2 tahun,” pungkas Rasio Sani.
Akhirnya hingga berita ini diterbitkan, awak media belum mendapatkan informasi dari bapak-bapak maupun ibu-ibu yang terkait dengan keluhan warga terhadap Aktivitas Alat Berat di lokasi PETI di Kecamatan Popayato.* (NT)